Jangan Mengeluh, Kerja Itu Ibadah

Rabu, 01 April 2009

Siang semakin terik, pria berbaju seragam oranye itu mengayuh sepeda di kawasan Bundaran HI yang lengang kendaraan. Maklum hari Minggu (31/8) itu memang Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Jl Sudirman-Thamrin, tetapi beberapa acara justru meramaikan kawasan di sekitar air mancur pusat kota Jakarta itu.

Pria setengah baya tersebut menyandarkan sepeda lalu ia sibuk memunguti sampah organik berupa dedaunan yang berserakan. Sejak pukul 05.00 WIB ia sudah berpeluh menyisir kawasan itu dengan beberapa orang teman dengan alat-alat yang tersedia seperti sapu, alat pencomot daun, plastik tempat sampah. Ia bersama teman-temannya memang tergabung dalam Regu Comot Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat seperti yang tertera di bagian belakang seragam oranyenya.

Pria yang biasa dipanggil Adi ini tinggal di Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta. Adi mengayuh sepedanya dari rumahnya sebelum matahari terbit, karena harus sudah sampai di HI pukul 05.00 WIB. “Yah, udah biasalah, tiap hari juga begini, malah kayak olahraga pagi,” tutur suami Maryati itu.

Tetapi tak setiap hari ia bertugas di kawasan HI, karena kalau ada event tertentu di Bundaran HI maka Regu Comot diterjunkan. Biasanya pria bertubuh kurus ini bertugas di sekitar Lapangan Banteng, Pasar Baru dan Gunung Sahari untuk mengambil sampah organik. “Kalo sehari-hari ya sepeda ini saya pake untuk berangkat kerja, kan dah dikasih pemerintah, tapi box-nya ditinggal di rumah,” ujar Adi sembari mengelap keringat di wajahnya.

Ia menggunakan gerobak ‘celeng’ atau gerobak roda satu yang bisa memuat sampah lebih banyak. “Kalau pake box kan cuma muat sedikit karena memang mencomot daun aja. Pake gerobak, sampah lain juga diambil,” katanya kepada Kompas.com.Wajahnya penuh semangat berkisah kegiatannya sehari-hari seperti anak kecil yang antusias bercerita mainan barunya. Sepertinya pria 30-an tahun ini tak peduli panas terik siang hari, ia berpeluh menyusuri jalan untuk memungut sampah.

Ayah dua orang anak itu tiba-tiba berubah raut mukanya saat bercerita anaknya. Tiap hari ia dibayar Rp 30.000, sedangkan dua anaknya masih duduk di bangku sekolah.”Yang pertama masih SMP dan adiknya malah baru masuk TK, kalau ingat mereka saya kok merasa bersalah kalo ga kerja keras. Biar makan seadanya tapi mereka bisa sekolah tinggi, itu prinsip saya,” katanya sambil menerawang.

Ia memang tak hanya mengandalkan honor sebagai petugas kebersihan. Pria berkulit sawo matang ini juga menjadi cleaning service di Kecamatan Sawah Besar. “Dapetnya memang tak seberapa, tapi kan lumayan buat tambahan biar bisa bayar sekolah. Kadang istri saya juga nyuci baju tetangga, ya supaya cukuplah,” tuturnya.

Adi kembali berkeliling mengitari sisi kanan Bundaran HI, setelah melepas lelah sejenak sambil menyantap makan siang dari panitia acara Rampak Bedhug Ramadhan yang masih berlangsung siang itu. Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 WIB, acara untuk menyambut awal bulan Ramadan telah selesai. Pengunjung mulai meninggalkan tempat, Adi kembali menyisir kawasan itu. Langit mulai mendung, angin bertiup kencang yang membawa dedaunan berserakan di jalan yang mulai lengang.”Kayaknya mau hujan ni, waktu kerja saya sudah mo habis. Tapi kok sampah makin banyak ya,” ujarnya seperti bergumam.

Setelah mengumpulkan dua plastik besar daun, ia memasukkan dalam truk sampah. Ia mengayuh sepedanya menuju Jl Thamrin setelah berpamitan pada petugas truk sampah, karena teman-temannya sudah lebih dulu pulang. Rintik hujan mulai turun. Sosok yang suka bekerja keras itu menghilang di belokan ujung jalan, tapi semangatnya masih tertinggal di hati. “Kerja itu kan ibadah, makanya jangan pernah mengeluh. Apalagi ini bulan puasa, harusnya makin giat, meski puasa tapi kan ga berarti males-malesan kerjanya,” ujarnya ringan.

Inilah kata-kata yang keluar dari hati seorang tukang sapu bersepeda yang penuh semangat membuncah. Semoga mentalitas ini tak hanya milik rakyat saja, bagaimana dengan para petinggi yang mewakili rakyat di puncak kekuasaan ya?


0 komentar: